Saat ini Indonesia memang tengah dilanda berbagai masalah pelik dan kompleks. Berbagai kasus korupsi bertebaran di mana-mana, kemiskinan yang merajalela hingga masayarakatpun tidak bisa mengakses kebutuhan pokoknya akan kesehatan dan pendidikan, kemudian pengangguran yang seakan tak ada habisnya, penurunan kualitas moral masyarakat, dan kriminalitas yang mengakibatkan depresiasi masayarakat terhadap nilai keamanan di negeri ini.
Jika kita harus menyebutkan semua masalahnya satu persatu, mungkin masih akan sangat banyak lagi yang tidak cukup disebutkan disini. Walaupun begitu, kita tidak boleh pesimis dalam mengatasi itu semua. Kita bisa bangkit dengan kekuatan kita sendiri tanpa bantuan dari Negara lain, melalui tangan kita, untuk kemajuan kita bersama. Salah satunya yaitu memanfaatkan potensi yang kita miliki.
Apabila saya amati dan telusuri, akar permasalahan dari semua ini adalah masalah ekonomi. Walaupun masalahnya juga mencakup seluruh aspek sosial, politik, dan budaya. Tanpa maksud mengesampingkan aspek-aspek tersebut, saya melihat ada yang menonjol dari masalah ekonomi. Kita tahu bahwa kemiskinan merupakan keterbatasan ekonomi, kurangnya pemenuhan kebutuhan terhadap pendidikan dan kesehatan yang terjadi di kalangan masayarakat menengah ke bawah juga disebabkan masalah ekonomi. Kriminalitas yang terjadi mayoritas diakibatkan oleh desakan kebutuhan ekonomi. Masalah pengangguran juga akan menaikkan tingkat kriminalitas karena tidak adanya pemasukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok sekalipun. Juga masalah korupsi yang jelas-jelas sangat merusak sistem perekonomian negeri ini.
Karena alasan-alasan tersebut, maka saya menyimpulkan bahwa yang harus kita benahi terlebih dahulu adalah bidang ekonomi. Karena apabila masyarakat telah berada pada tingkat ekonomi yang baik (minimal semua kebutuhan dasarnya terpenuhi), maka hal itu juga akan berefek positif pada aspek lainnya. Melalui pemberdayaan ekonomi rakyat, diharapkan bisa berimplikasi terhadap perbaikan aspek hukum, sosial, politik dan budaya.
Potensi Zakat dan Permasalahannya di Indonesia
Jika kita kilas balik ke masa-masa keemasan para pemimpin terdahulu yang sukses membawa rakyatnya pada tingkat kesejahteraan yang tinggi, maka akan ada sederet nama besar yang tidak asing lagi di telinga kita, salah satunya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau adalah Khalifah (pemimpin) Dinasti Bani Umayah, pada tahun 98 H pada usia 37 tahun. Beliau hanya memerintah kurang lebih tiga puluh bulan saja sampai wafat. Tetapi dalam kurun waktu yang singkat tersebut, beliau mampu mengentaskan kemiskinan di daerah pemerintahannya, tidak ada rakyat yang miskin dan meminta-minta lagi. Beliau mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, baik yang muslim atau nonmuslim.
Salah satu kebijakan yang diambil oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah mengembalikan zakat sebagai sumber utama pendapatan negara, memberantas korupsi dan nepotisme, dan gerakan penghematan dan efisiensi. Dari semua itu, ada satu hal menarik yang saya garisbawahi disini, yaitu kebijakan pengelolaan keuangan publik yang dijalankan terkait dengan zakat.
Zakat termasuk dalam Rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi seluruh Muslim. Kewajiban zakat sudah termaktub dalam Al-Qur’an, surat At-Taubah, ayat 103. Namun zakat bukan sekedar ibadah biasa bagi umat muslim yang berimplikasi positif pada individu yang menunaikannya saja. Tetapi lebih dari itu. Zakat adalah ibadah sosio-economy yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan baik dari sisi doktrin Islam maupun dari sisi pembangunan ekonomi umat. Selain berefek pada aspek sosial yang berperan dalam mengecilkan kesenjangan, zakat juga memiliki potensi yang besar dalam pembangunan dan pemerataan ekonomi ummat.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan ADB (Asian Development Bank) dan Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) menyatakan, potensi pengumpulan dana zakat Indonesia dapat mencapai Rp 217 Triliun. Tentu jika dana sebesar itu terkumpul, zakat akan sangat berpotensi sebagai sebuah sarana untuk membangun kesejahteraan ekonomi rakyat. Namun yang tercatat, terhimpun di Asosiasi Lembaga Zakat di Indonesia yaitu Forum Zakat Nasional baru sekitar 1,5 triliun rupiah. Potensi yang sangat besar, namun yang terkumpul baru sebagian kecilnya.
Sementara ditinjau dari pendistribusian dana zakat di Indonesia, ada beberapa hal yang menurut saya perlu dibenahi agar manfaat zakat bisa tersampaikan secara efektif. Pertama, belum maksimalnya loyalitas dari masyarakat kaya terhadap Badan Amil Zakat ataupun Lembaga Amil Zakat yang sudah diresmikan untuk menghimpun dan mengelola dana zakat. Mereka masih kurang percaya dan khawatir dana zakatnya tidak tersampaikan kepada yang berhak. Akibatnya, masyarakat yang kaya lebih memilih menyalurkan zakat mereka secara individu dengan cara membagi-bagikan uang atau paket sembako kepada rakyat miskin. Cara seperti ini memang tidak dilarang, tetapi akan menjadi sangat tidak efektif. Bisa kita tengok banyak pengalaman pembagian zakat yang seperti itu menjadi ricuh karena warga miskin yang datang jauh lebih banyak daripada jumlah paket yang akan dibagikan, dengan antrian yang tidak teratur, dan kemudian menimbulkan korban. Maksud baik muzakki tidak tersampaikan karena kesalahan metodologi. Akhirnya peristiwa tersebut akan terlihat seperti kejadian kontradiktif antara “parade kemiskinan” dan “pameran kebajikan”.
Kedua, kebanyakan orang membayar zakat hanya pada bulan Ramadhan, sementara sebelas bulan lainnya mereka tidak mengeluarkan zakat. Padahal selain zakat fitrah yang wajib dikeluarkan pada bulan Ramadhan, masih ada zakat maal yang wajib dikeluarkan di bulan lainnya, seperti zakat profesi, zakat tabungan, zakat perniagaan, pertanian, dan peternakan. Jika pembayaran zakat hanya terpusat pada bulan Ramadhan, maka hal tersebut sama saja membiarkan orang miskin bersenang-senang di satu bulan dan sengsara di bulan lainnya. Karena kurangnya pemahaman dan edukasi masyarakat, maka hal inilah yang menyebabkan penghimpunan zakat masih sangat jauh dari potensinya. Bagaimana bisa terkumpul ratusan trilliun rupiah kalau masyarakat hanya membayar zakat fitrah setahun sekali?
Selanjutnya, jika poin kedua tidak cepat ditangani dengan baik, maka akan berdampak secara signifikan pada pola pikir masyarakat, bahwa dana zakat harus cepat-cepat disampaikan sebelum hari raya Idul Fitri tiba. Memang benar bahwa zakat harus segera didistribusikan sebelum hari raya agar tidak ada seorang pun mustahik (orang-orang yang berhak menerima zakat) yang kelaparan di hari raya dan semua bisa ikut bersuka cita menyambutnya. Tapi itu hanya belaku bagi zakat fitrah saja. Karena tujuan distribusi zakat fitrah memang untuk konsumsi. Tetapi tidak sama dengan zakat maal yang pendistribusiannya bersifat produktif.
Sementara dari regulasi pemerintah yang mengantur tentang zakat, bisa kita lihat bahwa Indonesia telah memilki Undang-Undangnya, yaitu No 38 tahun 1999. Namun tetap saja keberadaan undang-undang tersebut tidak bersifat wajib bagi muzakki/donatur. Bahkan kesannya undang-undang ini hanya sebuah peraturan bagi lembaga-lembaga amil zakat saja. Berbeda sekali dengan pajak yang sangat digalakkan oleh pemerintah serta memiliki otorisasi yang kuat dan dan bersifat memaksa seluruh rakyat Indonesia agar membayar pajak.
Dari beberapa permasalahan di atas, perlu diambil tindakan cepat dan tepat agar masalah ini tidak berlarut dan semakiin besar. Pertama, adalah meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berzakat. Hal ini bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti sosialisasi yang gencar terhadap masyarakat, juga bisa dari segi otoritas pemerintah itu sendiri. Pemerintah harus tegas mengambil sikap dalam meregulasi zakat. Bahwa zakat adalah instrumen selain pajak yang wajib dikeluarkan oleh rakyat yang beragama Islam. Hal ini akan tentu akan memaksimalkan potensi zakat yang kita miliki dan semakin banyak yang bisa kita lakukan dengan dana tersebut.
Selanjutnya, selain pentingnya kesadaran masyarakat dalam mengeluarkan zakat, perlu juga sosialisasi agar masyarakat menyalurkan zakat mereka melaui Badan Amil Zakat Nasioal atau Lembaga Amil Zakat Nasional yang telah diresmikan oleh Presiden dan Kementrian agama untuk mengelola dana zakat secara professional. Dengan begitu, maka dana zakat akan tersalurkan dengan baik dan sampai pada yang berhak menerima.
Pendistribusian Dana Zakat dan Implikasinya Terhadap Perekonomian dan Aspek Lain
Seperti yang telah kita ketahui bahwa pola penyaluran zakat ada dua jenis, yaitu secara konsumtif dan produktif. Zakat konsumtif adalah dana zakat yang disalurkan untuk kebutuhan konsumtif seperti memenuhi kebutuhan pokok bagi kaum fakir miskin atau juga disalurkan untuk korban yang terkena musibah bencana alam. Sementara zakat produktif adalah dana yang diberikan kepada mustahiq zakat untuk tujuan yang bersifat produktif, yaitu untuk modal kerja dan usaha. Hal ini bertujuan agar mengangkat status ekonomi mustahiq.
Tidak ada dikotomi antara zakat konsumtif dan produktif. Semuanya harus berjalan beriringan secara seimbang. Mari kita lihat efektivitas penyaluran dana zakat dan implikasinya pada perekonomian dan aspek lainnya jika dilihat dari kedua metode penyaluran zakat tersebut. Pertama, zakat konsumtif. Penyaluran ini akan difokuskan pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari para mustahiq. Hal ini akan membuat perekonomian akan berjalan pada tingkat minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer. Jika dikaji lebih jauh, instrument zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis karena konsumsi kebutuhan dasar rakyat miskin ditanggung oleh Negara melalui dana zakat tersebut.
Jika zakat disalurkan secara produktif, maka dana zakat digunakan untuk pemberian modal bagi para mustahiq memulai usaha dan mengembangkan usaha secara produktif. Dengan zakat produktif ini, maka akan lebih cepat mengurangi kemiskinan dan peningkatan pada sisi sektor riil secara signifikan. Mengapa demikian? Pada dasarnya zakat itu bersifat memberdayakan. Misi utama zakat adalah pemberdayaan bagi mustahiq agar naik ke tingkat muktafi (golongan yang berkecukupan, tidak berhak menerima zakat dan tidak diwajibkan mengeluarkan zakat), dan kemudian berubah status menjadi muzakki. Hal ini akan menimbulkan kemandirian ekonomi pada mustahiq karena tidak perlu bergantung lagi pada dana zakat dalam pemenuhan kebutuhannya.
Zakat juga akan meningkatkan investasi, karena para muzakki akan termotivasi untuk memutar harta mereka pada sektor riil daripada menimbun atau sekedar menyimpan harta mereka di bank. Karena jika harta mereka disimpan saja sebagai tabungan, status harta mereka menjadi harta yang menganggur, dan harta itu wajib dikeluarkan zakatnya. Maka dari itu, investasi menjadi jalan keluar bagi para muzakki.
Selain dari sisi ekonomi, zakat produktif juga berimplikasi pada aspek sosial. Jika para mustahiq mendapatkan modal kerja, maka akan mendorong munculnya usaha-usaha kecil yang akan menguatkan sektor riil. Hal ini juga akan mengurangi tingkat pengangguran karena setiap usaha yang berdiri merupakan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Dengan berkurangnya tingkat pengangguran, maka akan berbanding lurus juga dengan menurunnya tingkat kriminalitas di masyarakat, karena masyarakat telah memiliki penghasilan yang cukup, minimal untuk memenuhi kebutuhan primernya.
Zakat juga dapat digunakan untuk optimalisasi pada sektor pendidikan. Alokasi dana zakat untuk sektor pendidikan dapat digunakan untuk membangun sekolah gratis bagi anak dari keluarga kurang mampu serta anak yatim dan anak jalanan, tunjangan buku dan seragam bagi peserta didik, biaya gaji guru yang memadai, membangun sarana pendidikan lainnya seperti perpustakaan umum. Hal ini akan mendorong terlaksananya wajib belajar bagi seluruh anak Indonesia. Karena sering sekali terjadi kasus anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah hanya karena tidak sanggup lagi membayar SPP walaupun itu adalah sekolah milik pemerintah. Bahkan tak sedikit pula kasus anak yang dipekerjakan oleh orangtua mereka demi membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal mereka masih di bawah umur dan berhak atas pendidikan.
Kebutuhan primer akan kesehatan juga dapat ditunjang oleh dana zakat. Banyak kejadian yang membuat cukup membuat kita prihatin, ketika masyarakat tidak dapat mengakses kesehatan karena keterbatasan biaya. Walaupun sudah ada program jaminan kesehatan bagi orang miskin, yang bahkan seringkali memiliki prosedur dan alur birokrasi yang rumit. Tidak sedikit juga para bayi yang kekurangan gizi dan hanya dirawat seadanya di rumah orangua mereka karena memang ketiadaan biaya untuk mengobati mereka. Bahkan sampai ada ungkapan bahwa orang miskin di negeri ini dilarang sakit. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka diperlukan sarana-sarana kesehatan yang memadai yang disediakan untuk masyarakat miskin. Dengan dana zakat, dapat dibangun rumah sakit gratis, penyuluhan dan program peningkatan gizi anak, penanganan penyakit berat yang perlu dioperasi, pemeriksaan kehamilan dan persalinan gratis, serta pelayanan kesehatan lainnya secara cuma-cuma.
Kembali saya tegaskan, bahwa tidak ada dikotomi antara zakat konsumtif dan produktif. Dan tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk dari lainnya. Kedua sistem penyaluran tersebut mempunyai perannya masing-masing. Zakat tidak bisa seluruhnya disalurkan secara produktif atau konsumtif semua. Harus ada proporsi yang seimbang antara keduanya. Jika semuanya dioptimalkan secara efektif, maka dana zakat akan mampu menyejahterakan masyarakat terutama dari sisi ekonomi dan aspek lainnya.
Wallaahu a'lam bishshowab.
Daftar Pustaka
Sakti Ali, Analisis Teoritis Ekomomi Islam Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, Aqsa Publishing, 2007: Jakarta
http://www.baznas.go.id
http://agustiantocentre.com/
No comments:
Post a Comment