Thursday, March 31, 2011

Ekonomi Pembangunan, Masalah Utang Negara

A. Pengertian ekonomi Pembangunan
Ekonomi pembangunan adalah Suatu cabang ilmu ekonomi yang menganalisis masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang dan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut supaya negara-negara berkembang dapat membangun ekonominya dengan lebih cepat lagi.

Indikator berhasil tidaknya pembangunan semata-mata dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP) per kapita riel, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional harus lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Kecenderungan di atas terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, seperti teori Harrod Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, Rosenstein Rodan, Nurkse, Leibenstein.
Perkembangan selanjutnya, banyak NSB mulai menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai, namun dibarengi dengan masalah-masalah, seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural.
Tujuan Analisis Ekonomi Pembangunan :
1. Menelaah faktor-faktor yang menimbulkan ketiadaan pembangunan.
2. Menelaah faktor-faktor yang menimbulkan keterlambatan pembangunan.
3. Mengemukakan cara-cara pendekatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah- masalah yang dihadapi sehingga mempercepat jalannya pembangunan.
Bidang-bidang penting yang dianalisis dalam Ekonomi Pembangunan :

1. Masalah pembentukan modal (investasi)
2. Masalah perdagangan luar negeri (Ekspor & Impor)
3. Masalah pengerahan tabungan (Saving)
4. Masalah bantuan luar negeri
5. Masalah dalam sektor pertanian atau industri
6. Masalah pendidikan dan peranannya dalam menciptakan pembangunan

B. Indikator Pembangunan

Indikator pembangunan diperlukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pembangunan yang dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Indikator-indikator kunci pembangunan secara garis besar pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
(1) Indikator ekonomi
GNP per kapita
Laju pertumbuhan ekonomi
GDP per kapita dengan Purchasing Power Parity
(2) Indikator sosial
Human Development Index (HDI)
PQLI (Physical Quality Life Index) atau Indeks Mutu Hidup

C. Posisi dan Kondisi Hutang Dunia
Utang menjadi fenomena umum bagi negara-negara berkembang. Namun demikian, dalam kenyataannya negara-negara maju pun juga mempunyai utang luar negeri yang tidak kalah banyaknya dengan negara dunia ketiga. Salah satu faktor yang membedakan antara keduanya adalah sering kali negara berkembang tidak mampu mengelola utang secara profesional. Hal ini menyebabkan utang yang semula digunakan untuk membiayai pembangunan beralih menjadi beban pembangunan.
Secara umum, alasan mengapa negara berkembang harus berutang adalah tingkat tabungan dalam negeri yang rendah sehingga harus mencari dana lain untuk membiayai investasi dan minimnya persediaan devisa untuk mengimpor barang-barang, seperti mesin-mesin pabrik atau bahan baku. Hal tersebut berkaitan erat dengan Likuiditas Nasional, yaitu ketersediaan baik mata uang lokal maupun asing untuk kebutuhan pembayaran impor ataupun membayar utang. Atas dasar inilah muncul konsep Guidotti Rule bahwa setidaknya negara dapat dikatakan “aman” apabila mempunyai persediaan devisa yang cukup untuk kebutuhan pembiayaan satu tahun ke depan.
D. Jumlah Utang dan Cicilan Utang di Indonesia
Menurut Buku Saku Perkembangan Utang Negara Edisi Oktober 2010, jumlah seluruh utang pemerintah mencapai US$ 185,3 milyar. Bila dirupiahkan dengan kurs Rp 9000/ US dollar, maka utang negara kita mencapai Rp 1.667,70 trilyun. Jika dibagi jumlah penduduk Indonesia 237,556 juta jiwa berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, maka setiap penduduk Indonesia memikul utang negara sebesar Rp 7 juta.
Utang pemerintah tersebut terdiri atas utang luar negeri dan utang dalam negeri. Utang dalam negeri merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut pinjaman pemerintah dalam bentuk surat utang atau obligasi.
Meningkatnya utang pemerintah, terutama sejak masuknya IMF pada era reformasi. Peningkatan tersebut didorong oleh biaya BLBI dan paket rekapitalisasi perbankan yang menelan biaya pokok Rp 650 trilyun. Biaya ini atas perintah IMF diaktuaisasikan pemerintah dalam bentuk Surat Utang Negara atau disebut juga obligasi rekap.
Selanjutnya, pemerintah menjadikan instrumen surat utang untuk mendanai APBN. Sehingga jika sebelumnya pemerintah hanya mengandalkan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan APBN, maka penjualan surat utang negara pun menjadi andalan utama pemerintah dalam berutang.
Lalu, berapakah cicilan utang Indonesia? Berdasarkan data dari Buku Saku Perkembangan Utang Negara Edisi Oktober 2010, dalam APBN-P 2010 jumlah keseluruhan cicilan utang pemerintah mencapai angka Rp230,33 trilyun. Cicilan tersebut terdiri atas cicilan pokok sebesar Rp124,68 trilyun dan cicilan bunga Rp105,65 trilyun. Proporsi anggaran pembayaran utang mencapai 23,21% dari Rp992,4 trilyun penerimaan APBN dimana hampir setengahnya atau 45,87% adalah pembayaran bunga utang pemerintah. Akibat besarnya jumlah cicilan utang, APBN pun mengalami defisit sangat besar, yakni Rp133,75 trilyun.
Selama 11 tahun terakhir, negara telah membayar utang sebesar Rp1.596,1 trilyun dan 54% di antaranya atau sekitar Rp864,67 trilyun adalah untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo. Jumlah keseluruhan pembayaran utang pemerintah tersebut lebih dari 7,8 kali penerimaan APBN 2000, 4,7 kali penerimaan APBN 2003, 2,5 kali penerimaan APBN 2006, dan 1,6 kali penerimaan APBN 2010. Jumlah ini juga hampir menyamai jumlah utang negara tahun ini Rp1.667,7 trilyun. Sedangkan total pembayaran bunga utang pemerintah lebih besar dari anggaran penerimaan pajak tahun ini Rp743,3 trilyun.
Meski Indonesia telah membayar utang sebesar Rp1.667,7 trilyun selama 11 tahun terakhir, utang Indonesia tidak turun justru membengkak dari jumlah utang pada tahun 2000 yakni Rp1.235 trilyun. Bahkan jika dibandingkan jumlah utang pemerintah tahun 1998 sebesar Rp553 trilyun, jumlah utang pemerintah Indonesia tahun ini bertambah 3 kali lipat sejak krisis moneter.
E. Utang dalam Perspektif Islam
Dalam penyelengaraan utang, syara’ telah menetapkan bagaimana berutang yang menimbulkan kebaikan bagi masyarakat. Dari Rafi’ berkata, Nabi saw meminjam lembu muda, kemudian Nabi saw menerima unta yang bagus, lalu beliau menyuruhku melunasi utang lembu mudanya kepada orang itu. Aku berkata “Aku tidak mendapati pada unta itu selain unta yang ke empat kakinya bagus-bagus. Beliau bersabda berikan saja ia kepadanya, sebab sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling baik ketika melunasi utangnnya.
Hadist ini menunjukkan bahwa siapa saja boleh berutang asal mendatangkan kebaikan, tidak mengakibatkan kerusakan. Menurut Abdurahman al-Maliki dalam bukunya as-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mustla yang di diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Politik Ekonomi Islam mengatakan bahwa utang bagi individu hukumnya mubah, artinya utang boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan oleh seorang muslim. Sebab dalil masalah utang bersifat umum tidak terdapat dalil yang mengkhususkan sehingga tetap pada keumumannya. Apabila menimbulkan kerusakkan maka hukumnya haram sesuai dengan kaidah fikih idzaa hashala dzararun min fardi min afraadil mubai yumnaghu dzalika fardhu, yang maknanya apabila terjadi bahaya (kerusahan) akibat bagian di antara satu satuan yang mubah, maka satu itu saja yang dilarang)
Berbeda untuk utang negara, dalam terminologi Islam utang luar negeri termasuk perkara mubah dalam hal-hal khusus. Jika negara mengalami masalah berhubungan dengan kewajiban yang dikeluarkan tidak dapat ditangguhkan akibat untuk memenuhi pengeluaran rutin, misalnya gaji untuk pegawai negeri dan militer, dan masalah-masalah darurat, seperti adanya bencana alam atau kecelakaan maka wajib bagi negara untuk menyediakan dana, bila dana tidak ada maka hukumnya mubah untuk utang kepada negara lain. Hal ini atas pertimbangan tidak terpenuhinya hak pegawai negeri dan militer, penanganan korban bencana dengan baik dan lain sebagainya akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah bagi masyarakat dan negara.
Selain karena faktor pengeluaran rutin dan pengeluaran darurat, negara tidak boleh berutang dari pihak kedua, hukumnya tidak mubah lagi . Pengadaan proyek-proyek infrastruktur, seperti, jalan, jembatan, pembangunan sekolah atau rumah sakit dan seterusnya. Bila memang negara tidak mempunyai dana untuk menyediakan fasilias tersebut, pedanaan sepenuhnya dapat ditarik dari rakyat melalui pajak, tetapi jika fasilitas tersebut memang sudah tersedia maka tidak wajib negara menarik pajak dari rakyat. Dan kewajiban untuk menyediakan faslitas tersebut bisa bersifat sementara dan penarikannya pun didasarkan atas kemampuan masyarakat perindividu.
Dalam konsep Islam tidak diperbolehkan negara berutang karena alasan untuk menyediakan infrastruktur, akan mempengaruhi, satu meningkatnya tanggung jawab rakyat terhadap negara, dan tanggung jawab negara terhadap rakyat, sebab persediaan infrastruktur tergantung dari besar prosentasi pajak yang dikeluarkan rakyat. Mengakibatkan kontrol antara negara dan rakyat dalam mengelola dana sesuai dengan spesifikasi kebutuhan yang harus di penuhi oleh keduanya. Kedua, menimbulkan kemandirian, bila tidak ada campur tangan pihak asing maka negara tersebut bertanggung jawab penuh atas masa depan rakyat. Sehingga negara akan lebih baik dalam menentukan kebijakan-kebijakan jangka panjang dimana lebih banyak ditentukan oleh fenomena kehidupan negara di saat ini. Ketiga, kebijakan lebih integratif, negara yang tidak punya utang akan mempengaruhi kebebasan negara tersebut dalam mengelola negara, kepentingan rakyat di negara akan banyak terakomodir oleh kebijakan pemerintah., Keempat, menghindari kerugian negara akibat karena kebijakan yang dikeluarkan secara sepihak oleh negara kreditur, ataupun kebocoran utang karena korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pemerintah
Bila suatu negara melegitimasi keberadaan utang menjadi bagian yang terpisahkan dalam pembangunan—sehingga kesan yang terjadi tanpa utang negara bangkrut. Negara seperti ini lebih banyak di pengaruhi paradigma pembangunan yang mengandaikan kapital sebagai satu-satunya menyangga mekanisme pasar. Hal ini menjadikan perhatian utama pemerintah lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur yang mempengaruhi konsistensi produksi, tanpa memperhitungkan besarnya biaya sosial (social cost) yang dikeluarkan atas semua itu. Yang jelas saat ini, dampak utang bagi negara kita adalah semakin turunnya pengaruh pemerintah dalam menentukan kesejahteraan rakyat dan yang jelas korupsi tidak semakin turun.

F. Dampak Utang Luar Negeri
Utang negara dapat berasal dari utang dalam negeri dan utang luar negeri. Kebutuhan akan utang yang demikian besar timbul karena fungsi utang bukan lagi sebagai financial bridging untuk memenuhi liquidity mismatch, namun utang telah menjadi alat fiskal pemerintah untuk menstimulasi perekonomian. Bahkan lebih buruk lagi utang telah menjadi alat pemuas keinginan pemerintah untuk membangun proyek-proyek mercusuar.
Ketika suatu negara sedang dilanda krisis, dalam kepanikan sesaat, utang yang asalnya P to P (private to private) dengan cerdik dapat diubah menjadi G to G (government to government). Lihat saja bagaimana utang dari sebuah perusahaan swasta kepada swasta lainnya di luar negeri, yang dengan alasan krisis ekonomi, mengalami gagal-bayar, diambil alih oleh pemerintah yang dana pengambilalihan itu didanai oleh pemerintah-pemerintah negara lain dengan dikomandoi oleh Dana Moneter Internasional (IMF).
Utang yang asalnya merupakan utang sebuah bank kepada pihak swasta di luar negeri, berubah menjadi utang negara kepada IMF. Lebih celaka lagi, bila kemudian ternyata pemilik perusahaan yang memberi utang di luar negeri itu adalah juga pemilik perusahaan yang gagal-bayar di dalam negeri. Yang paling celaka adalah bila utang P to P diubah menjadi G to G, pemilik perusahaan P to P adalah orang yang sama. Melalui program MSAA (Master Settlement Acquisition Agreement) utang swasta dalam negeri dianggap lunas setelah asetnya disita pemerintah meskipun jumlah nilai aset itu kurang dari utangnya. Bukan saja di antara P to P terbuka kemungkinan untuk melakukan transfer pricing, juga pembayaran bunga yang tinggi.
Utang negara dapat dihitung dari selisih investasi dengan saving (Saving Investment Gap). Semakin kecil saving semakin besar gap ini, sehingga memerlukan utang yang semakin besar. Namun kecenderungan saat ini utang melalui defisit anggaran sudah tidak disukai. The European Community membatasi defisit anggaran tiga persen saja dari GDP.
Cara lain melihat masalah ini adalah dengan meningkatkan jumlah saving, sehingga jumlah utang dapat ditekan pada jumlah minimal. Secara teori ekonomi, semakin besar saving semakin cepat pertumbuhan ekonomi (Mankiw, Rommer, Weil, Quarterly Journal of Economics: 407-37, 1992). Data IMF juga menunjukkan hal yang sama (IMF, World Economic Outlook: 67-89, 1995).
Pertanyaannya adalah mengapa suatu negara mempunyai tingkat saving yang lebih tinggi dibandingkan negara lain? Apakah tingkat bunga yang tinggi akan mendorong saving yang tinggi pula? Ternyata tidak. Malahan semakin kecil tingkat kredit konsumtif semakin besar tingkat saving.
Kontrol terhadap tingat kredit konsumtif bukan dilakukan melalui mekanisme bunga, namun dilakukan melalui mekanisme kebijakan fiskal. Negara dengan tingkat saving tinggi seperti Jepang dan Jerman ternyata mempunyai sistem pajak yang menurunkan minat untuk melakukan kredit konsumtif (Poterba, Public Policies and Household Saving, 1994).
Bila suku bunga yang tinggi dapat meningkatkan saving, maka seharusnya tingkat bunga yang tinggi sejak awal 1980-an (Siegel & Thaler, Journal of Economic Perspectives: 194, 1997) akan mendorong saving yang lebih tinggi. Padahal kenyataannya tidak, bahkan tingkat saving menurun. Rasio saving terhadap GDP menurun dari 26,6 persen (1971) menjadi 22,6 persen (1991) secara keseluruhan, sedangkan untuk negara berkembang dari 34,2 persen (1971) menjadi 26,1 persen (1991). Dan untuk negara industri dari 23,6 persen (1971) menjadi 20,2 persen (1971) (IMF, International Financial Statistics 1998: 166-7).
Jelaslah suku bunga bukan merupakan instrumen yang efektif untuk mempengaruhi tingkat saving. Dalam teori Keynesian saving merupakan fungsi dari pendapatan yaitu S = f (Y). Variabel suku bunga tidak masuk dalam fungsi saving. Menurut Keynes, money demand for speculation-lah yang dipengaruhi oleh tingkat bunga yaitu Md (sp) = f (I), dan menurut Tobin & Boumol, money demand for precautionary juga dipengaruhi oleh suku bunga yaitu Md (pre) = f (Y,i). Tidak satupun dari kedua teori itu yang mengatakan bahwa suku bunga mempengaruhi tingkat saving.
Cara melihat yang berikutnya adalah mengecilkan Saving Investment Gap dengan sistem bagi hasil yaitu dengan mengubah penabung menjadi investor. Hal ini menjadi penting karena bila saving tidak diikuti dengan investasi, maka akan tersedia sejumlah besar dana yang menganggur yang akan mendorong orang untuk melakukan kegiatan transaksi finansial yang tidak terkait dengan sektor ekonomi riil seperti spekulasi valas, spekulasi di pasar uang dan di pasar modal.
Sejumlah penelitian menunjukan bahwa sistem bagi hasil akan mendorong tingkat investasi (Zarqa, Journal of Economics and Administration:98-106, 1982; Chapra, Towards a Just Monetary System: 107-17, 1985; Preslley & Sessions, The Economic Journal: 584-96, 1994).
Utang negara baik yang berasal dari utang dalam negeri maupun utang luar negeri merupakan hal yang kurang disukai dalam ekonomi syariah. Terbukti dengan kenyataan bahwa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin (khalifah yang empat) hanya sekali melakukan anggaran defisit. Dalam ilmu ekonomi hal ini akan mencegah ekspansi moneter yang selanjutnya mengontrol inflasi dan kestabilan nilai tukar uang.
Utang yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang menunjukkan ketidakefektifan fungsi utang itu sendiri karena hal itu berarti melanggengkan saving investment gap. Untuk mengatasi saving investment gap dalam jangka waktu pendek dapat diatasi dengan utang sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika jatuhnya kota Makkah, yang dilunasi sebelum satu tahun yaitu setelah perang Hunayn.
Namun bila saving investment gap berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, maka solusinya adalah dengan meningkatkan saving, antara lain dengan mengontrol kredit konsumtif melalui kebijakan fiskal. Instrumen bunga bukan merupakan instrumen yang efektif untuk mempengaruhi tingkat saving. Cara kedua adalah dengan sistem bagi hasil yaitu merubah penabung menjadi investor, sehingga saving ditransformasikan menjadi sumber dana untuk pembangunan ekonomi sektor riil.
Read More … Ekonomi Pembangunan, Masalah Utang Negara