Saturday, July 16, 2011

Konsep Jaminan Sosial dalam Islam (Tafsir Surat Al-Ma'un)

I . pendahuluan

a. Konsep Pembangunan Dalam Islam

Islam memandang proses pembangunan ekonomi dengan berpedoman kepada empat filosofi utama yaitu (Ahmad, Khurshid); (i) Tawhid (God’s unity and sovereignty) yaitu Allah SWT sebagai satu-satun ya sumber petunjuk yang harus dipatuhi (berdaulat penuh); (ii) Rububiyyah (Divine arrangements for nourishment, sustenance and directing things toward their perfection) yaitu pelaksanaan petunjuk Allah SWT untuk mencapai tujuan hidup manusia; (iii) Khilafah (Man’s role as God’s vicegerent on earth) yaitu manusia berperan sebagai pengemban amanah (khalifah) Allah SWT di bumi; dan (iv) Tazkiyah (purification and growth) yaitu pemurnian hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, lingkungan dan negara.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi dalam Islam mempunyai tujuan utama kesejahteraan manusia dari aspek material dan spiritual (Chapra, Umar) dan hal ini telah dirumuskan oleh Al-Ghazali dan Al-Syatibi lebih dari 800 tahun yang lalu melalui proses pemenuhan kebutuhan manusia menurut (Zarqa, Anas): (a) Necessities yaitu pemenuhan kebutuhan primer (dasar); (b) Convenience yaitu pemenuhan kebutuhan sekunder dan; (c) Refinement yaitu pemenuhan kebutuhan pelengkap/tambahan. Keseluruhannya dilaksanakan dalam kerangka beribadah kepada Allah SWT dengan implementasi nilai-nilai Islami seperti hidup sederhana, amanah dan memperhitungkan konsekuensi akhirat (year after).
Konsep pembangunan ekonomi Islami lebih lanjut pernah dijabarkan oleh Prof Khurshid Ahmad, salah seorang pakar ekonomi Islam abad ini, pada The 1st International Conference on Islamic Economics di Makah, tahun 1976. Prof Khurshid Ahmad menjabarkannya ke dalam enam butir langkah pokok pembangunan ekonomi menurut Islam yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan saran Prof Nurbert Walter di atas, yaitu: Pembangunan sumber daya manusia.
Hal ini sangat penting dan selayaknya menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi saat ini. Kebijakan yang dapat ditempuh antara lain melalui
1. peningkatan mutu pendidikan formal yang meletakkan nilai-nilai rohani (agama) kepada setiap individu. Dengan begitu, diharapkan akan lahir manusia-manusia yang mempunyai kemampuan dan keahlian tinggi untuk mengelola segenap sumber daya yang dimiliki serta mampu memperbaiki taraf kehidupannya namun tetap dalam jalur yang dibenarkan oleh syariah.
2. Peningkatan produksi nasional. Pembangunan sumber daya manusia di atas tentunya berkorelasi positif dengan peningkatan output perekonomian nasional. Namun berbeda dengan yang biasa dipahami, output perekonomian nasional yang dimaksud pastinya bebas dari kegiatan yang mengandung unsur riba, judi/gambling/spekulasi, eksploitasi individu, pornografi, dan kegiatan ekonomi lainnya yang tidak disesuai dengan syariah.
3. Perbaikan kualitas hidup. Pemerintah dalam Islam berperan aktif dan ikut bertanggung jawab dalam usaha bersama untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara umum. Selain perbaikan individu dan peningkatan aktifitas perekonomian, pemerintah merancang program peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin melalui kebijakan pemerataan pendapatan/kesejahteraan. Salah satu cara Islam untuk meningkatkan distribusi pendapatan adalah melalui peran zakat, infaq, shodaqoh, wakaf, dll. Sehingga, pemerintah berperan menjadi koordinator pengumpulan zakat, infaq, shodaqoh, dll serta menyalurkannya secara merata.
4. Pembangunan yang berimbang. Kebijakan dan proses pembangunan ekonomi diharapkan menyentuh semua sektor dan unsur sosial masyarakat. Artinya, tidak ada pihak yang mendapatkan keistimewaan (privilege) dan tidak ada pihak merasa dirugikan. Semua mendapatkan kesempatan, hak dan perhatian yang sama karena Islam tidak membedakan manusia dalam hal bermuamalah.
5. New technology. Tanpa mengesampingkan perkembangan terkini, pembangunan ekonomi Islami juga mengakomodasi kebutuhan akan penerapan dan penggunaan teknologi dan informasi. Hal ini terutama dipergunakan untuk menunjang pencapaian tujuan pembangunan ekonomi itu sendiri. Mandiri. Pembangunan ekonomi yang Islami memprioritaskan kemampuan ekonomi dalam negeri dan berusaha mengurangi ketergantungan kepada bantuan pihak asing.
6. Interaksi dengan negara lain dilakukan dalam rangka hubungan dagang untuk kepentingan bersama dan diprioritaskan dengan sesama negara Islam. Untuk Indonesia, kekayaan sumber daya alam dan potensi manusia yang besar selayaknya menjadi modal utama untuk lepas dari bantuan asing. Perekonomian yang mandiri pada akhirnya akan meningkatkan daya saing (competitiveness) Indonesia di dalam transaksi perdagangan internasional.
Keenam langkah pembangunan ekonomi Islami di atas sejatinya membutuhkan kerja keras dan kerjasama semua elemen bangsa karena setiap langkah menuntut komitmen tinggi dan terutama kesadaran untuk menyertakan unsur ruhiah yang selama ini telah terlupakan.
Jaminan Sosial (Social Security)
Secara harfiah social security dapat diartikan dengan”pembebasan kesulitan masyarakat” atau suatu upaya ntuk membebaskan masyarakat dari kesulitan. Dari pengertian tersebut, jaminan social (social security) dapat didefinisikan sebagai system pemberian uang dan atau pelayanan social guna melindungi seorang dari resiko tidak memiliki atau kehilangan pendapatan akibat kecelakaan, kecacatan, sakit, menganggur, kehamilan, masa tua, dan kematian.
Dalam hal jaminan social seperti yang disebutkan di atas, harus kita akui bahwa Negara-negara Muslim sangat ketinggalan dengan Negara-negara Barat, terutama Eropa. Oleh karena itu, tidak salah kalau selama ini masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan ketimpangan selalu menyelimuti Negara-negara Muslim.
Menurut Amir Syakib Arselan, ketertinggalan Negara-negara Muslim dengan Negara Barat tersebut tidak lain karena umat Islam selama ini meninggalkan ajaran agamanya yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits. Sedangkan orang Barat (non muslim) maju justru karena meninggalkan agamanya. Di antara ajaran Islam yang selalma ini ditinggalkan oleh ummat Islam adalah kewajiban untuk menolong orang miskin, yatim, dan yang lemah lainnya. Di antara surat yang sangat jelas mengutarakan masalah ini adalah surat al-Ma’un. Surat al-Ma’un dengan sangat tegas menganggap orang yang tidak memedulikan anak yatim dan tidak mau memberi makan orang miskin sebagai pendusta agama.















بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِO
فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَO
وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِO
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَO
الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَO
الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونO
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَO

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Ma’un: 1-7)

a. Tafsir Surah al-Ma’un secara Umum
Menurut az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya al-Munir, pertanyaan dengan lafazh (أَرَأَيْتَ) bertujuan untuk menggugah hati orang yang mendengarkan terhadap isi pembicaraan selanjutnya serta menggambarkan keheranan terhadap perilaku orang yang dibicarakan selanjutnya. Menurut Sayyid Thanthowi dalam At-Tafsir Al-Wasith, orang yang dibicarakan dalam ayat ini dianggap sangat bodoh dan kolot karena telah mendustakan agama dengan melakukan hal-hal yang disebutkan dalam ayat selanjutnya , yang berupa menghardik anak yatim, tidak menganjurkan member makan orang miskin, lalai dan pamrih dari sholatnya, serta tidak mau menolong orang lain.
Menurut Amirudin dalam Tafsir Al-Quran Kontemporer, lafazh (يُكَذِّبُ) dalam ayat pertama dapat diterjemahkan dengan mendustakan atau mengingkari. Namun dalam konteks ayat ini menurut dia terjemahan yang lebih tepat adalah mengingkari. Sedangkan lafazh (لدِّينِ) sendiri secara bahasa artinya agama. Namun menurut para mufassir seperti az-Zuhaili, dan Ibnu Katsir lafazh (لدِّينِ) tersebut adalah hari pembalasan agama. Dengan demikian terjemahan ayat pertama yang lebih tepat dari ketiga pendapat di atas adalah “tahukah engkau akan orang yang mengingkari hari pembalasan agama.
Mennurut ahli tafsir, lafazh (وَيْلٌ) dalam ayat keempat memiliki dua arti, yaitu nama lembah di neraka jahannam dan kecelakaan atau kebinasaan. Namun menurut Amiruddin, ketika lafazh (وَيْلٌ) deartikan dengan neraka, maka konsekuensinya adalah ancamann yang ada akan menjadi kenyataan setelah kiamat, bukan pada saat masih di dunia. Oleh karena itu, menurut Amiruddin lafazh (وَيْلٌ) lebih tepatnya diartikan sebagai kecelakaan atau kebinasaan.
Ada tiga orang yang mendapatkan ancaman dalam ini yang disebutkan dalam tiga ayat selanjutnya,
1. Orang yang lalai dalam sholatnya
Menurut Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dalam ayat ini dalah orang munafik yang sholat ketika dilihat orang lain serta meninggalkanya ketika dalam keadaan sendirian, Menuru adh-Dhahhak yang juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah orang yang ketika sholat tidak mengharapkan pahala, dan ketika meninggalkan sholat tidak takut adanya siksa. Sedangkan menurut Sa’ad bin Abi Waqqosh, adalah orang yang mengakhirkan sholat karena menganggap remeh. Pendapat terakhir inilah yang paling digunakan oleh kebanyakan mufassir serta didukung oleh riwayat lainnya.
2. Orang yang berbuat riya’
Menrut az-Zuhaili , yang dimaksud dengan riya’ (pamrih) adalah melakukan ibadah namun dengan tujuan duniawi seperti mengharapkan kedudukan dan pengakuan dari masyarakat atas amal ibadahnya . az-Zuhaili mengemukakan bahwa ada empat macam riya’. Pertama, memperindah penampilan untuk dipuji orang lain. Kedua, memakai pakaian jelek agar dianggap orang ‘alim dan zuhud. Ketiga, mengatakan membenci hal-hal yang berbau duniawi agar dianggap sebagai ahli ibadah yang taat. Keempat, menampakkan amal ibadah supaya dapat dilihat orang lain.
3. Orang yang enggan menolong dengan barang yang berguna.
Menurut al-Qurtubi, ada 12 pendapat mengenai arti lafazh (الْمَاعُونَ) dalam ayat terakhir ini. Namun menurut az-Zuhaili, pendapat yang diambil oleh mayoritas mufassir adalah setiap sesuatu yang dibutuhkan baik oleh orang miskin ataupun orang kaya, dimana sesuatu tersebut oleh masyarakat umum dianggap sesuatu yang kecil, yang ketika ada orang yang meminta ata meminjamnya pasti diberikan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kapak, peralatan masak, air, garam, serta api.

TAFSIR EKONOMI
Surat al-Ma’un mengandung prinsip dasar pembangunan ekonomi terutama dalam hal jaminan sosial bagi masyarakat. Adapun ayat yang mengandung sistem jaminan sosial dalam surah al-Ma’un adalah ayat kedua dan ketiga. Di mana orang tidak memedulikan anak yatim serta tidak mau member makan orang miskin dianggap sebagai orang yang mengingkari atau mendustakan agama dan hari pembalasa.
a. Tafsir ayat (فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ)
Ada beberapa penafsiran tentang makna (يَدُعُّ). Menurut riwayat Ibnu Abbas lafazh (يَدُعُّ) berarti menolak memberikan hak anak yatim. Menurut riwayat Mujahid, (يَدُعُّ) berarti menolak member makan anak yatim. Sedangkan menurut riwayat Qotadah dan adh-Dhohhak (يَدُعُّ) bermakna berbuat kasar dan semena-mena (mengacu pada QS adh-Dhuha:9). Menurut Ibnu Katsir, lafazh (يَدُعُّ) bisa diartikan dengan tidak berbuat baik serta tidak memedulikan anak yatim(mengacu pada QS. Al-Fajr:17).
Dengan mengacu kepada beberapa penafsiran di atas, ada beberapa pihak yang terkena ancaman sebagai pengingkar agama dalam surah al-Ma’unn. Mereka adalah:
Pertama, individu atau institusi yang mendapat tanggung jawab untuk memelihara serta mengelola harta anak yatim. Namun ternyata dia tidak memberikan harta anak yatim tersebut, bahkan mengambil keuntungan darinya serta memakannya secara zholim.
Rasulullah SAW bersabda,

“Ada empat orang di mana Allah berhak untuk tidak memasukkannya ke dalam surga, yaitu pecandu khomr, pemakan riba, pemakan harta anak yatim tanpa hak, serta orang yang menyakiti kedua orangtuanya.” (HR al-Baihaqi)
Namun, menrut fuqaha, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir, seorang wali yatim diperbolehkan mengambil harta anak yatim sekedar untuk memenuhi kebutuhan nafkahnya atau sebesah sepadan atas tugasnya mengurus harta anak yatim.
Kedua, orang yang membentak anak yatim serta tidak member mereka makan. Adapun pihak-pihak yang tergolong kategori ini adalah setiap orang yang berbuat kasar terhadap orang lain.
Ketiga, orang yang tidak memedulikan nasib serta kesejahteraan dari anak yatim. Orang yang membiarkan anak yatim terlantar serta membiarkan masa depan mereka menjadi suram.

b. Tafsir ayat (وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ)
Lafazh hadhdha (ﺤﺽﱠ) merupakan sinonim dari hatstsa (ﺤﺚﱠ) yang dapat diterjemahkan dengan mendorong atau menganjurkan orang lain. Dengan demikian, ayat di atas dapat diterjemahkan menjadi “Dan tidak menganjurkan orang lain untuk member makan orang miskin. Ada dua hal yang menarik untuk kita renungkan dalam ayat ini, yaitu:
Pertama, dalam ayat ini Allah menggunakan redaksi menganjurkan (يَحُضُّ) bukan memberi makan (ﻴﻄﻌﻢ) orang miskin. Menurut al-Maraghi ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa ketika kita tidak mampu menolong orang miskin, maka kita wajib meminta atau menganjurkan orang lain utnuk menolong orang miskin tersebut.
Dari sinilah Islam mengajarkan kepada kita bahwa setiap orang mempunyai peluang untuk berbuat kebajikan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Bahkan dalam kasus pemberantasan kemiskinan serta penyediaan jaminan sosial bagi orang miskin yang selama ini menjadi masalah bangsa ini, Indonesia memerlukan peran penting dari setiap elemen masyarakat dengan berbagai kontribusi yang berbeda-beda. Masing-masing dari penguasa baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif, pengusaham akademisi, serta ulama-ulama memiliki kewajiban yang sama untuk memecahkan masalah kemiskinan sert apenyediaan jaminan sosial sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Kedua, dalam ayat tersebut Allah menggunakan lafazh tha’aam (ﻄﻌﺎﻡ) yang berarti makanan bukan ith’am (ﺇﻄﻌﻢ) yang berarti memberi makanan. Padahal kalau kita lihat susunan ayat tersebut memberikan pengertian member makan orang miskin.
Berkenaan dengan hal tersebut ada dua pendapat yang dikemukakan oleh ulama tafsir. Sebagian dari mufassirin seperti seperti az-Zuhaili mengemukakan bahwa lafazh tha’am (ﻄﻌﺎﻡ) (makanan) dalam ayat tersebut memiliki arti ith’am (ﺇﻄﻌﻢ) (memberi makan). Namun sebagian yang lain menganggap bahwa ada lafazh yang dibuang dalam tersebut yaitu lafzh badzlu (ﺑﺫﻞ). Dengan demikian, menurut pendapat kedua ini, lafazh tha’aamil miskin (طَعَامِ الْمِسْكِينِ) ditafsirkan dengan badzlu tha’aamil miskin (ﺑﺫﻞ طَعَامِ الْمِسْكِينِ) (menyerahkan makanan orang miskin). Pendapat kedua ini di antaranya dikemukakan oleh al-Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma’ani dan ar-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib.
Menurut al-Alusi dan ar-Razi, hal tersebut memberikan pengertian bahwa makanan tersebut pada hakikatnya adalah hak orang miskin. Makanan tersebut seakan-akan adalah milik orang miskin meskipun secara kasat mata diambilkan dari harta pribadi si pemberi.

Pemenuhan Basic Needs bagi Orang Miskin
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa surah al-Ma’un memerintahkan kita untuk memberi makan orang miskin serta mengecam keras orang yang tidak mau melakukannya. Lafazh tha’am (ﻄﻌﺎﻡ) yang berarti makanan juga memberikan pengertian pada pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) bagi orang miskin. Mengingat makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dalam melangsungkan hidupnya. Dengan demikian, kebutuhan dasar lainnya dari masyarakat miskin seperti kesehatan, pendidikan, serta tempat tinggal yang layak juga perlu mendapatkan perhatian kita semua.
Dalam ekonomi pembangunan, pemenuhan kebutuhan dasar bagi orang miskin merupakan salah satu strategi penting dalam rangka pemberantasan kemiskinan.


Jaminan Sosial pada Awal Pemerintahan Islam
Jaminan Sosial pada Masa Rasulullah
Sistem jaminan sosial merupakan suatu hal yang mendapat perhatian serius dari Rasulullah SAW. Dengan adanya jaminan sosial tersebut, ketimpangan di antara masyarakat akan akan menjadi kecil. Sedangkan kecilnya ketimpangan sangat berperan penting bagi stabilitas masyarakat dalam tatanan sebuah Negara,
Berkenaan dengan hal di atas, sistem jaminan sosial yang digagas oleh Rasulullah tidak hanya dibebankan kepada Negara semata, tetapi Rasulullah mengombinasikan antara peran pemerintah dan swasta dalam hal ini masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini, pemerintah di antaranya mengalokasikan dana zakat untuk menyediakan bahan makan dan kebutuhan dasar lainnya bagi orag yang berhak mendapatkannya (para mustahiq). Sedangkan jaminan sosial yang berasal dari masyarakat berupa kewajiban bagi setiap anggota masyarakat untuk menolong anggota masyarakat lainnya yang sangat membutuhkan serta mengecam orang yang bersikap individualis.
Allah SWT berfirman:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah 2)
Sistem seperti inilah yang menjadi keunggulan dari sistem jaminan sosial dalam Islam. Kalau kita teliti lebih lanjut, sistem jaminan sosial yang digagas oleh Rasulullah mencakup kepada seluruh pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh masyarakat. Sistem ini juga tidak terbatas kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang lanjut usia, akan tetapi juga sistem tersebut juga mencakup semua pihak yang lemah serta memerlukan bantuan lainnya, seperti para janda da orang yang dililit hutang. Rasulullah Saw bersabda:
ﻠﻭﺭﺜﺘﻪ ﻓﻬﻮ ﻤﺎﻻ ﺗﺮﻚ ﻮﻤﻦ ﻔﻌﻟﻲﱠﻗﺿﺎﺀﻩ ﺪﻴﻨﺎ ﻓﺘﺭﻚ ﺍﻠﻣﺆﻤﻨﻴﻦ ﻤﻦ ﺘﻮﻓﱢﻲ ﻔﻤﻦ ﺃﻨﻓﺳﻬﻡ ﻤﻦ ﺒﺎﻠﻤﺅﻤﻨﻴﻦ ﻭﻟﻲ ﺃﻨﺎ
“Saya adalah orang yang lebih dekat dengan orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri. Barangsiapa yang meninggal dengan meninggalkan hutang, maka saya yang akan membayar hutang tersebut. Dan barang siapa yang meninggal dengan meninggalkan harta benda, maka harta benda tersebut menjadi milik ahli warisnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Selain itu jaminan sosial yang digagas oleh Rasulullah juga tidak terbatas pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat materi saja. Namun juga pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Hal ini dapat kita ihat kebijakan beliau terhadap tawanan perang badar, di mana orang yang tidak mampu membayar tebusan dalam bentuk uang, maka dia harus mengajar anak-anak sahabat anshar tulis menulis.

Jaminan Sosial di Masa Khulafa’ ar-Rasyidin
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, pemberian jaminan sosial dalam bentuk tunjangan kepada kaum muslimin untuk pertama kalinya dilaksanakan. Pada masa kepemimpinannya, beliau menyamaratakan tunjangan yang diberikan kepada kaum muslimin dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang pertama kali masuk Islam atau sahabat yan gpernah ikut perang Badar atau dengan sahabat yang lainnya.
Sistem pemberian tunjangan kepada umat Islam tersebut terus berlanjut pasa masa-masa pemerintahan setelahnya. Bahkan pengelolaan keuangan termasuk di dalamya pemberian tunjangan mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Umar. Bahkan pasa masa Umar, hampir bisa dikatakan tidak ada satu orangpun yang tidak mendapatkan tunjangan. Kemajuan sistem jaminan sosial dalam bentuk tunjangan di masa Umar tersebut salah satunya didukung oleh pemasukan Negara yang mengalami kenaikan cukup besar seiring berkembang dan meluasnya pemerintahan Islam.
Jaminan sosial yang diberikan pada masa pemerintahan Islam tidak hanya terbatas kepada masyarakat muslim, tetapi juga mencakup umat Kristen dan yahudi pada masa itu. Abu Bakar menjamin hak mereka bahwa jika seorang dari mereka menjadi tidak mampu karena usia lannjut, terkena musibah, kemalangan, dan menjadi miskin maka dia terbebas dari jizyah. Bahkan dia dan keluarganya akan memperoleh dana perawatan dari dana umum selama masih tinggal di Negara Islam.
Pada masa kekhalifahannya, Umar RA juga memerintahkan agar orang tua (jompo) non muslim yang tidak berpenghasilan tidak boleh dipaksa untuk membayar jizyah. Akan tetapi orang semacam ini harus disantuni dengan dana masyarakat.

Sumber:
Al-Qur'an Al Kariim
Tafsir Ekonomi Kontemporer
Kitab Shohih Bukhari
Bulughul Marom, min adillatil Ahkam
Tafsir Fii zhilaalil Quran
Jejak Rekam Ekonomi Islam

No comments:

Post a Comment