Sunday, January 16, 2011

Sistem Regulasi dan Pengawasan Perbankan


Industri Perbankan merupakan sektor yang paling banyak diatur dan diawasi (highly regulated and supervised industry). Ini tentu saja masuk akal, karena dana-dana yang dihimpun dari masyarakat yang dikembangkan melalui berbagai bentuk pembiayaan dan investasi harus dapat dipertanggngjawabkan. Dana pihak ketiga jauh lebih besar dari modal, oleh karenanya, tingkat laverage bank lebih besar daripada jenis perusahaan lainnya. Dengan demikian, penting bagi bank untuk meyakinkan deposan dan melindunginya dari kerugian yang seharusnya tidak perlu terjadi dengan mencegah tindakan curang, kesalahan manajemen, pinjaman berlebih, konsentrasi kredit dan eksploitasi sumber-sumber keuangan bank untuk memperkaya sebagian kecil pihak.
Penting juga bagi bank menciptakan efisiensi operasi pasar modal beserta instrumen penunjangnya untuk mempercepat pembangunan. Dengan demikian, regulasi dan penegaknya, harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan pengawasan yang efektif. Regulasi yang dibuat seharusnya tidak terlalu kaku dan memberatkan, yang justru akan membatasi kreativitas dan inovasi bank.
Sistem regulasi global yang berlaku sekarang ini secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga kataegori: tradisional (traditional), campuran (hybrid), dan kesatuan sistem (unitary system)



1.1 Sistem Regulasi dan Pengawasan Global
Pada dasarnya, aktivitas dari bank komersial, bank inestasi, perusahaan asuransi, dan reksadana, berbeda satu sama lain. Untuk melindungi stabilitas dan peran positif masing-masing sector dalam peningkatan kesehatan system keuangan, maka tidak diperbolehkan adanya inter-sektor. Dengan demikian, tiap sector diatur diawasi oleh otoritas yang berbeda.
Negara Indonesia masih menganut sistem pengwasan tradisional, yaitu berada di bawah bank sentral. Sebagian besar negar-negara berkembang menganut sistem ini, dan hingga sekarang, Amerika Seirkat juga menganut rezim ini berdasarkan ketentuan Glass-Steagall Act.
Sebagai kebalikan dari bentk tradisional, bank dan perusahaan sekuritas yang melakukan aktivitas lintas sektor di sebagian besar Negara eropa berada dalam kerangka universal banking, dari yang sebelumnya menggabungkan kecuupan modal, menjadi pemisahan kecukupan modal. Di sebagian Negara Eropa, bank dan perusahaan asuransi diperbolehkan untuk memiliki link-link bisnis yang saling berhubungan, sementara di sebagian Negara lainnya, perusahaan asuransi dan dan perusahaan sekuritas, saling memasuki domain area bisnis satu sama lain.
Di Amerika Serikat,terdapat tren pertumbuhan merger lintas sektor. Bahkan, sebagian regulator di Negara Eropa semakin berminat dengan konsep bank campuran (bank dan aktivitas sekuritas) dan bisnis asuransi. Di perancis, konsep camouran ini disebut dengan bancassurance. Oleh karena itulah standar regulasi bagiaktivitas konglomerasi keuangna di seluruh dunia perlu diadopsi. Sebagai hasilnya, perkembangan selanjutnya akan ditentukan di arena regulasi dan pengawasan, yang meliputi berikut ini:
1. Pada tataran perundang-undangan nasional, sebagian Negara terpaksa memerger infrastruktur regulasinya ke dalam satu lembaga, misalnya Financial Service Authority (FSA) di Inggris, begitu juga di Scandinavia dan Jepang, telah berinisiatif membentuk otoritas regulasi yang dapat mendukung aktivitas dari pihak regulator dan meningkatkan kerjasama di antara mereka.
2. Pada tataran internasional, koordinasi dalam hal pengawasan lintas sektor antara aktivitas Basel Committee of Banking Supervision (BCBS), International Organizations of Securities Commissioner (IOSCO), dan International Association of Insurance Supervisor (IAIS) telah diupayakan dalam kerangka Joint Forum on Financial conglomerates (JFFC).

1.2 Sistem Regulasi dan Pengawasan Perbankan di Indonesia
a. Perudang-undangan tentang Pengawasan Perbankan di Indonesia
Tugas Mengatur dan mengawasi Bank (UU NO 23 THN 1999)
• Pasal 24
Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
• Pasal 27
Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 adalah pengawasan langsung dan tidak langsung.

• Pasal 29
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.
• Pasal 34
Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sector jasa keuangan yang independen, dan dibentuk oleh undang-undang.
• Pasal 35
Sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1) belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan Bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

1.3 Bank Indonesia
1.3.1 Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara
Dilhat dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan BI sebagai lembaga negara yang independen tidak sejajar dengan lembaga tinggi negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung. Kedudukan BI juga tidak sama dengan Departemen karena kedudukan BI berada di luar pemerintahan. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar BI dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai Otoritas Moneter secara lebih efektif dan efisien. Meskipun BI berkedudukan sebagai lembaga negara independen, dalam melaksanakan tugasnya, BI mempunyai hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan DPR, BPK, Pemerintah dan pihak lainnya.
Dalam hubungannya dengan Presiden dan DPR, BI setiap awal tahun anggaran menyampaikan informasi tertulis mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter dan rencana kebijakan moneter yang akan datang. Khusus kepada DPR, pelaksanaan tugas dan wewenang setiap triwulan dan sewaktu-waktu bila diminta oleh DPR. Selain itu, BI menyampaikan rencana dan realiasasi anggaran tahunan kepada Pemerintah dan DPR. Dalam hubungannya dengan BPK, BI wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada BPK

:: Hubungan BI dengan Pemerintah : Hubungan Keuangan
Dalam hal hubungan keuangan dengan Pemerintah, Bank Indonesia membantu menerbitkan dan menempatkan surat-surat hutang negara guna membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa diperbolehkan membeli sendiri surat-surat hutang negara tersebut.
Bank Indonesia juga bertindak sebagai kasir Pemerintah yang menatausahakan rekening Pemerintah di Bank Indonesia, dan atas permintaan Pemerintah, dapat menerima pinjaman luar negeri untuk dan atas nama Pemerintah Indonesia.
Namun demikian, agar pelaksanaan tugas Bank Indonesia benar-benar terfokus serta agar efektivitas pengendalian moneter tidak terganggu, pemberian kredit kepada Pemerintah guna mengatasi deficit spending - yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan undang-undang yang lama - kini tidak dapat lagi dilakukan oleh Bank Indonesia.
:: Hubungan BI dengan Pemerintah : Independensi dalam Interdependensi
Meskipun Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen, tetap diperlukan koordinasi yang bersifat konsultatif dengan Pemerintah, sebab tugas-tugas Bank Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Koordinasi di antara Bank Indonesia dan Pemerintah diperlukan pada sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas-tugas Bank Indonesia. Dalam sidang kabinet tersebut Pemerintah dapat meminta pendapat Bank Indonesia.
Selain itu, Bank Indonesia juga dapat memberikan masukan, pendapat serta pertimbangan kepada Pemerintah mengenai Rancangan APBN serta kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya.
Di lain pihak, Pemerintah juga dapat menghadiri Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan hak bicara tetapi tanpa hak suara. Oleh sebab itu, implementasi independensi justru sangat dipengaruhi oleh kemantapan hubungan kerja yang proporsional di antara Bank Indonesia di satu pihak dan Pemerintah serta lembaga-lembaga terkait lainnya di lain pihak, dengan tetap berlandaskan pembagian tugas dan wewenang masing-masing.

1.3.2 Misi, Visi, dan Sasaran Strategis Bank Indonesia
:: Misi
Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan.
:: Visi
Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya (kredibel) secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.
:: Nilai-Nilai Strategis
Kompetensi - Integritas - Transparansi - Akuntabilitas - Kebersamaan (KITA - Kompak)
:: Sasaran Strategis
Untuk mewujudkan Misi, Visi dan Nilai-nilai Strategis tersebut, Bank Indonesia menetapkan sasaran strategis jangka menengah panjang, yaitu :
1. Terpeliharanya Kestabilan Moneter
2. Terpeliharanya Stabilitas Sistem Keuangan
3. Terpeliharanya kondisi keuangan Bank Indonesia yang sehat dan akuntabel
4. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen moneter
5. Memelihara SSK : (i) melalui efektifitas pengaturan dan pengawasan bank, surveillance sektor keuangan, dan manajemen krisis serta (ii) mendorong fungsi intermediasi
6. Memelihara keamanan dan efisiensi sistem pembayaran
7. Meningkatkan kapabilitas organisasi, SDM dan sistem informasi
8. Memperkuat institusi melalui good governance, efektivitas komunikasi dan kerangka hukum
9. Mengoptimalkan pencapaian dan manfaat inisiatif Bank Indonesia.


1.3.3 Tujuan dan Tugas Bank Indonesia
:: Tujuan Tunggal
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
:: Tiga Pilar Utama
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
2. Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran
3. Mengatur dan mengawasi bank



1.3.4 Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank
Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia sebagai:
1. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana
2. Pelaksana kebijakan moneter;
3. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; agar tercipta sistem perbankan yang sehat,baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan:
1 Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi);
2 Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan
3 Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian.

:: Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Bank
Pengaturan dan pengawasan bank oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut:
1. Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian izin oleh BI meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.
3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus,yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank,laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan BI dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan tugas pemeriksaan.
4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.

Sumber (Daftar Pustaka)
1. Sumaryo Budi, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Keuangan Negara dan Perbankan, 2007, Jakarta: CV Citra Utama
2. Chapra, M. Umer & Tariqullah Khan, Regulasi dan Pengawasan Bank Syariah, 2008, Jakarta, Bumi Aksara
Sumber Internet:
1. Bank Indonesia,
http://www.bi.go.i
Read More … Sistem Regulasi dan Pengawasan Perbankan

Saturday, January 8, 2011

Jual Beli yang diperbolehkan dalam Islam

1. Jual Beli Barang yang Mengandung Najis dengan Tujuan Memanfaatkan
Jual Beli Barang yang mengandung najis hukumnya haram kecuali dengan tujuan memanfaatkannya, bukan memakannya.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Zhahiri : Diperbolehkan seseorang untuk menjual kotoran-kotoran/ tinjadan sampah-sampah yang mengandung najis oleh karena sangat dibutuhkan guna untuk keperluan perkebunan
Demikian pula diperbolehkan menjual setiap barang najis yang dapat dimanfaatkan bukam untuk dimakan atau diminum.

2. Jual Beli Anjing yang terdidik
Menurut An-Nakha’i: yang diperbolehkan hanya memperjualbelikan anjing untuk berburu
Dalil: Hadits Rasul yang melarang memperjualbelikan anjing kecuali anjing untuk berburu

3. Jual Beli alat Musik
Pada dasarnya, memperjualbelikan alat music itu bole selama yang dimaksudkan mendapatkan keuntungan yang boleh dan halal dan mendengarkannya pun halal.
Jika music ditampilkan dalam lingkungan yang dapat mengeluarkan dari daerah halal seperti untuk membangkitkan syahwat, membawa pada perbuatan dosa, menggugah kea rah kebobrokan atau menimbulkn kelalaian berbuat taat, maka music menjadi tidak halal.

4. Jual Beli dengan Perantara
Perantara (broker) dalam jual beli disebut pula simsar. Yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasa bahwa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya brang sesuai usahanya.
Dalil: Rasulullah Bersabda: “ dalam perkara simsar ia berkata tidak apa-apa. Kalau seseorang berkata juallah kain ini dengan harga sekian, lebih dari penjualan itu untuk engkau” (HR Bukhari)
Kelebihan yang dinyatakan dalam keterangan di atas adalah
a. Harga yang lebih dari harga yang telah ditetapkan oleh penjual barang itu
b. Kelebihan barang setelah dijual menurt harga yang telah ditentukan oleh pemilik barang tersebut

5. Jual beli di Masjid
Abu Hanifah : dibolehkan berjual beli di masjid dan dimakruhkan membawa barang waktu jual beli untuk menghormati kesucian masjid
Imam Malik& Asy-Syafi’I membolehkan tetapi makruh
Imam Ahmad: mengharamkannya dengan dalil Hadits Rasul
“Jika kamu melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah semoga Allah tidak akan memberikan untung dari perdagangannya”

6. Jual Beli Tauliyah, Wadhi’ah, dan Murabahah
Tauliyah, Wadhi’ah, dan Murabahah dibolehkan dengan syarat pihak pembeli dan pejual mengetahui harga beli barang
Tauliyah : menjual dengan harga modal, tidak oebih dan tidak kurang
Murabahah: penjualan dengan harga pembelian barang berikut untung yang diketahui
Wadhi’ah: penjualan dengan dibawah harga pembelian

7. Jual Beli Mushaf
Para fuqaha sepakat tentang bolehnya membeli mushaf tetapi berbeda pendapat dalam menjualnya.
Syafi’I, Hanafi, Maliki: Boleh
Hanbali : Haram

8. Jual Beli Air
Jika seseorang mengambil dan mengumpulkan air, dan telah menjadi miliknya, dalam keadaan eperti ini boleh menjualnya. Demikian pula halnya jika seseorang menggali sumur di tanah miliknya atau membuat alat untuk mengambil air.

9. Jual Beli gandum di tangkainya
Diboleh memperjualbelikan gandum di tangkainya, baqila (sejenis kacang-kacangan) dalam kulitnya, demikian juga beras, juuz (semacam kelapa) dan luuz (kacang sejenis buncis) dan simsim yang masih berkulit.
Nabi SAW melarang jual beli hasil pertanian yang masih ada di tangkai sebelum ia memutih (tua) dan bebas penyakit. Karena demikianlah tuntutan kebutuhan. Sehingga jual beli terbebaskan dari ghoror. Demkian menurut mazhab hanafi dan maliki

10. Jual Beli dengan DP (Dawn Payment)
Tanda jual beli panjar (DP) bahwa pembeli membeli barang dan dia membayar sebagian pembayarannya kepada si penjual. Jika jual beli dilaksanakan, panjar dihiung sebagai pembayaran. Dan jika tidak, panjar diambil si penjual dengan dasar sebagai penghibahab dari pembeli.

11. Salam
Salam adalah jual-beli barang dimana pembeli memesan barang dengan spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya, dengan pembayaran yang dilakukan sebelum barang tersebut selesai dibuat, baik secara tunai maupun angsuran, dan penyerahan barangnya dilakukan pada suatu saat yang disepakati di kemudian hari. Dengan demikian dalam transaksi Salam, pembeli pemesan memiliki piutang barang terhadap penjual, dan sebaliknya penjual mempunyai utang barang kepada pembeli.

12. Istishna
Akad jual-beli (Mashnu’) antara pemesan (Mustashni’)dengan penerima pesanan (Shani). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal akad dengan pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan. Apabila bank bertindak sebagai Shani kemudian menunjuk pihak lain untuk membuat barang (Mashnu’) maka hal ini disebut Istishna Paralel.
Rukun Istishna‘:
* Produsen (Shani`)
* Pemesan (Mustashni`)
* Barang (Mashnu`)
* Harga (Tsaman)
* Ijab qabul (Sighat)
Landasan syariah Istishna’:
Ijma’ : Istishna’ dibolehkan atas dasar Istihsan (maslahat) karena banyak orang yang menggunakannya dan membolehkannya. Hal ini didasarkan atas hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani: “Ummatku tidak mungkin bersepakat atas kesesatan.”

13. Pelelangan (Muzayyadah)
Dari Anas RA, Rasulullah menjual sebuah pelana dan mangkok air, dan berkata siapa yang mau membeli pelana dan mangkok air ini? Seorang laki-laki menyahut “aku bersedia membelinya dengan harga satu dirham.” Lalu Nabi berkata lagi, “siapa yang berani menambahkan?” maka diberi dua dirham oleh seorang laki-laki kepada beliau. Lalu dijuallah kedua benda itu kepada lelaki tersebut. (HR Tirmidzi)

14. Jual Beli Wafa
Jual Beli wafa adalah orang yang butuh menjual suatu barang dengan janji bila pembayaran telah dipenuhi, barang dikembalikan lagi. Hukum jual beli semacam ini seperti gadai menurut pendapat yang paling rajih.

Referensi:
Fiqih Muamalah, Dr. H. Hendi Suhendi,M.Si.
Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq Muhammad Attihami
Read More … Jual Beli yang diperbolehkan dalam Islam