Saturday, December 4, 2010

Saatnya Kembali ke Dinar dan Dirham


Penggunaan uang kertas telah menjadi kenyataan hidup sehari-hari masyarakat dunia, termasuk kita di Indonesia. Betapa tidak, uang yang kita bawa, yang kita simpan, yang kita bayarkan untuk membeli barang atau membayar karyawan, dan yang kita terima sebagai gaji maupun honor, adalah uang kertas yang dicetak oleh pemerintah dengan nilai nominal tertentu.


Tapi tidak banyak yang menyadari bahwa uang kertas, di mana nilai nominalnya tidak ditopang oleh nilai intrinsik (zatnya), nilai intrinsiknya hanyalah sehelai kertas biasa, sama dengan kertas-kertas lainnya. Sebab, pemerintah tidak menjaminnya dengan menyediakan cadangan uang berupa emas dan perak di dalam cadangan devisanya yang disimpan di bank sentral, inilah sebenarnya yang menjadi faktor pendukung utama jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar yang berdampak pada krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi seperti saat sekarang.

Uang kertas sangat rentan terhadap tekanan inflasi dan gejolak kurs. Ketika terjadi kenaikan harga-harga, maka tanpa dapat dicegah nilai tukar (purchasing power) dari mata uang itu merosot tajam sebanyak jumlah inflasi yang terjadi. Dengan kata lain, kendati secara nominal nilai uang kita tetap, tapi sesungguhnya kita tidaklah sekaya sebelumnya. Jadi dengan uang kertas, kita tanpa sadar mudah sekali mengalami proses pemiskinan.

Begitu pula ketika terjadi gejolak kurs, kestabilan ekonomi suatu negara dengan sangat mudah mengalami gangguan. Kita telah membuktikan hal ini secara langsung. Depresiasi rupiah terhadap dolar hingga mencapai 300 persen kembali terulang dalam dua bulan terakhir sebagaimana yang terjadi pada pertengahan Juni 1997, tak pelak lagi telah menggoncang sendi-sendi perekonomian masyarakat. Harga barang-barang yang mengandung komponen impor apalagi barang jadi, melonjak tajam, industri macet, harga BBM semakin melangit, ditambah lagi dengan ancaman beberapa perusahaan akan melakukan PHK terhadap karyawannya, penggangguran membengkak, dan sebagainya.

Kenyataan tersebut di atas, tentu saja sangat memprihatinkan kita semua. Sebagai bagian dari masyarakat yang secara langsung terkena dampak negatif krisis ekonomi, kita mesti memikirkan dengan sungguh-sungguh, tidak adakah cara lain yang lebih baik untuk mengatur persoalan mata uang dan perihal keuangan agar kita bisa terhindar dari situasi buruk yang telah dan sedang kita alami ini? Dan sebagai seorang muslim kita juga patut bertanya, adakah agama kita, Islam yang telah ditegaskan oleh Allah sebagai Rahmat sekalian alam, memberikan tuntunan dalam masalah ini?

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, dalam diskursus wacana ekonomi dalam Islam, ternyata diterangkan secara gamblang tentang wajibnya kita menggunakan mata uang sistem dua logam, yaitu dinar emas dan dirham perak. Rasulullah SAW sendiri telah menjadikan jenis emas dan perak tersebut sebagai uang, baik yang dicetak ataupun tidak. Beliau tidak pernah mencetak uang tertentu dengan ciri khas tertentu dan tidak berbeda-beda. Namun satuan emas dan perak tersebut merupakan kumpulan dari model uang Persia dan Romawi, dari segi besar dan kecilnya. Beliau juga memotong perak yang tidak dicetak, tidak diukir dan terpercaya, yang semuanya beliau pergunakan dalam melakukan transaksi ekonomi. Akan tetapi satuan tersebut dinilai menurut beratnya, bukan jumlahnya, bukan pula dengan ukiran ataupun tidaknya. Potongan emas tersebut kadang-kadang ditentukan menurut berat dan besarnya telur. Kemudian beliau pergunakan dalam melakukan transaksi. (Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, hal. 301)

Kondisi semacam ini berlangsung sepanjang hayat Nabi Muhammad SAW, masa khulafaur Rasyidin, awal masa Bani Umayyah hingga masa Abdul Malik bin Marwan. Sejak masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan, mata uang Islam telah dicetak dan diterbitkan (tahun 77 H) 1 dinar emas nilainya setara dengan 4,25 gram emas dan 1 dirham perak setara dengan 2,975 gram perak. (Abu Fuad, al-wa?ie No. 25 Tahun III, 2002, hal. 17)

Dengan standardisasi pada sistem dua logam seperti ini, berarti Islam telah menjadikan mata uang sebagai alat tukar dan pada saat yang sama, Islam melarang secara tegas difungsikannya uang sebagai komoditi (misalnya dengan memungut riba baik riba nashi?a dalam sistem perbankan konvensional maupun riba fadl dalam bursa valas). Rasululllah SAW bersabda ?(Boleh ditukar) Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam yang setara (sama nilai dan kualitasnya) dan diserahterimakan secara langsung (dari tangan ke tangan). Siapa saja yang menambahkan suatu nilai (atau meminta tambahan) sesungguhnya ia telah berbuat riba (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).

Mata uang dinar emas dan dirham perak memiliki nilai nominal yang senantiasa ditopang oleh nilai intrinsiknya atau nilai uang itu sebagai barang. Dalam hal ini, tentu saja tidak lain adalah emas dan perak itu sendiri. Artinya, nilai nominal yang tercantum pada mata uang benar-benar secara riil dijamin dengan zat uang tersebut (nilai instrinsiknya); bukan ?uang-uangan? di mana masyarakat dipaksa dengan undang-undang supaya menganggap bahwa mata uangnya sebagai mata uang ?betulan? sebagaimana yang terjadi saat ini. Dengan cara ini, mata uang dinar dan dirham akan terjaga nilai tukarnya oleh karena ketika terjadi inflasi maupun depresiasi, nilai emas juga cenderung ikut naik, seperti yang dibuktikan saat ini. Sebelum krisis harga 1 gram emas sekitar Rp25 ribu, setelah krisis bergerak naik hingga pernah mencapai Rp125 ribu.

Kestabilan nilai mata uang tentu saja akan memberikan ketahanan ekonomi pada masyarakat, karena nilainya yang relatif terjaga, baik terhadap gejala inflasi maupun terhadap gejolak kurs (apresiasi dan depresiasi). Dan ketahanan ekonomi pada gilirannya akan memberikan kesejahteraan ekonomi dan kestabilan politik. Faktanya, ketika interaksi keuangan (moneter) dunia berjalan berdasar sistem mata uang emas, dunia hidup dalam tahapan yang mapan; perekonomian dan keuangan stabil hingga Perang Dunia I. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak adanya tekanan luar negeri dalam aktivitas pertukaran mata uang yang dapat mempengaruhi harga-harga barang dan gaji para pekerja, karena adanya kebebasan pertukaran emas, mengimpor dan mengekspornya.

Kedua, tetapnya kurs pertukaran mata uang antar-negara yang menyebabkan meningkatnya perdagangan internasional. Sebab, para pelaku bisnis dalam perdagangan luar negeri tidak takut bersaing. Ketiga, bank-bank pusat dan pemerintah tidak memperluas peredaran uang kertas, karena selain dapat dipertukarkan menjadi emas dengan nilai tertentu, juga dapat menambah jumlah permintaan emas yang tidak sanggup dipenuhi oleh pemerintah.

Keempat, setiap negara menjaga kekayaan emas, sehingga tidak akan terjadi pelarian emas dari satu negara ke negara lain, begitu pula negara tidak memerlukan kontrol sekecil-kecilnya untuk melindungi kekayaannya. Sebab, kekayaan tersebut tidak akan ditransfer dari negara tersebut kecuali karena adanya alasan yang sah menurut syara?, yakni ada kalanya untuk membayar barang atau gaji para pekerja.

Pada akhirnya, di tengah pergerakan mata uang dunia yang tidak menentu dan mudah dipermainkan oleh negara super power seperti Amerika, dan lebih khusus lagi rupiah terhadap dolar, dorongan untuk disepakatinya dinar dan dirham sebagai mata uang di negara-negara ASEAN sebagaimana dikemukakan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Sugiharto, saat membuka Konferensi Pencetak Logam ASEAN ke-12, Senin (19/9), di Jakarta, mestinya direspon dengan cepat oleh semua kalangan, terutama pemerintah sebagai satu-satunya jalan keluar dari krisis moneter yang tidak menentu kapan akan berakhir dengan satu semboyan ?Saatnya Kembali ke Dinar dan Dirham?. Di sinilah urgensinya perjuangan untuk menghadirkan kembali syariat Islam yang diterapkan oleh Khilafah Islamiyah. Hanya dengan cara inilah bangsa yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa ini akan mampu mengakhiri berbagai kesengsaraannya.
Wallahu a'lam bi ash shawab
Read More … Saatnya Kembali ke Dinar dan Dirham